Gambar Foto: (SV/Fadil) |
SUKABUMIVIRAL.COM - 4 September 2025 - Media sosial bukan lagi sekadar ruang berbagi informasi, melainkan instrumen strategis politik, ekonomi, bahkan keamanan nasional. Pertanyaan fundamental yang muncul adalah: siapa yang memikul tanggung jawab hukum atas konten yang beredar? individu pengguna atau penyedia platform global?.
Diskursus ini menjadi semakin mendesak setelah berbagai kasus besar, baik internasional maupun nasional, membuktikan bahwa media sosial mampu mengguncang legitimasi politik, mengubah perilaku sosial, hingga menciptakan implikasi global yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Legitimasi Regulasi Negara, Korporasi, dan Batas Yurisdiksi
Kasus Cambridge Analytica pada tahun 2018 menjadi preseden global. Kebocoran data jutaan pengguna Facebook yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik memperlihatkan bahwa media sosial dapat menjadi instrumen manipulasi demokrasi. Namun, pertanggungjawaban hukum kala itu lebih banyak diarahkan kepada korporasi (Facebook/Meta), bukan individu pengguna.
Indonesia adalah contoh nyata dilema efektivitas hukum di era media sosial. Kasus penyebaran ujaran kebencian dan hoaks pandemi Covid-19 memperlihatkan bagaimana individu ditangkap secara masif dengan tuduhan menyebarkan berita bohong.
Selain itu, kasus penjualan data pribadi 1,3 miliar SIM card di forum gelap pada 2022. Memperlihatkan kelemahan lain. Data yang bocor berasal dari sumber resmi, tetapi tetap diperdagangkan melalui media sosial. Namun, jerat hukum lebih diarahkan pada pelaku penjualan, bukan pada platform yang menjadi medium distribusi.
Pakar Etika Global Menilai adanya "ketidakseimbangan legitimasi hukum". Korporasi global memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan internal, namun seringkali bersifat menguntungkan bisnis semata, bukan kepentingan publik.
“Tanpa kerangka kerja internasional yang mengikat, regulasi hanya bersifat parsial. Implementasi hukum nasional kerap tidak efektif karena keterbatasan yurisdiksi lintas negara."_ ujar Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, M.A,.
Secara normatif, individu tetap bertanggung jawab penuh atas setiap pernyataan yang dipublikasikan melalui akun pribadi. Namun, penyedia platform memiliki kewajiban etis dan yuridis untuk melakukan moderasi konten. Model tanggung jawab ganda inilah yang kini banyak diadopsi dalam regulasi berbagai negara, meski dengan tingkat penegakan yang berbeda-beda.
Implikasi Global Polarisasi Regulasi dan Paradigma Baru
Ketidaksinkronan regulasi antar negara menciptakan polarisasi hukum global. Amerika Serikat cenderung menempatkan kebebasan berekspresi di atas segalanya, sementara Uni Eropa lebih menekankan pada keamanan data dan pengendalian konten. Di Asia, termasuk Indonesia, regulasi masih didominasi pendekatan represif terhadap individu.
Efektivitas hukum terhadap media sosial tidak dapat hanya bergantung pada satu pihak. Legitimasi regulasi harus bersifat lintas batas, implementasi harus adil bagi individu maupun korporasi, dan implikasinya harus diperhitungkan secara global.
Tanpa paradigma baru ini, risiko yang muncul bukan hanya kriminalisasi pengguna atau kebebasan berekspresi yang tereduksi, melainkan hilangnya kedaulatan negara dalam ruang digital. Dunia membutuhkan perjanjian internasional yang mengikat, layaknya konvensi global, untuk memastikan media sosial tidak menjadi arena tanpa hukum.
Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan analisis independen dengan mengacu pada kasus-kasus nyata baik internasional maupun nasional, tanpa bermaksud mendiskreditkan pihak manapun. "Akan tetapi Penggunaan Medsos Antara Manfaat dan Mudhorot. (Red/Fadil/Us)
<< Post Views: 2.864
Social Header