Kebebasan Berekspresi adalah Hak Konstitusional yang Tak Lepas dari Batasan Hukum. Kebebasan Berpendapat adalah Hak, Tetapi Bijak dalam Berekspresi adalah Kewajiban.
SUKABUMIVIRAL.COM - Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu pilar utama demokrasi. Hak konstitusional ini tidak hanya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga memperoleh legitimasi global melalui International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), sebuah perjanjian internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Setiap individu memiliki hak untuk menyampaikan opini, aspirasi, maupun informasi. Namun demikian, kebebasan berekspresi bukanlah hak yang bersifat mutlak. ICCPR secara tegas menyatakan bahwa ekspresi publik dapat dibatasi apabila berpotensi mengganggu ketertiban umum, mengancam keamanan nasional, atau melanggar hak asasi orang lain.
Dengan kata lain, kebebasan berekspresi adalah hak yang memiliki implikasi sosial, sehingga pelaksanaannya menuntut keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif.
Dalam praktik kontemporer, isu kebebasan berekspresi semakin kompleks. Implementasi hak ini kerap menjadi problematika absurd ketika disalahgunakan untuk menyebarkan berita palsu (hoaks), ujaran kebencian, hingga konten provokatif. Fenomena ini kemudian dijadikan legitimasi pembatasan ruang berekspresi melalui instrumen hukum seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Undang-Undang Penyiaran.
Pengamat publik sekaligus tokoh nasional, Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc. M.A,. Menegaskan bahwa negara membutuhkan titik keseimbangan antara perlindungan kebebasan berekspresi dengan pencegahan penyalahgunaan hak.
“Negara wajib menjamin kebebasan warganya, tetapi masyarakat juga harus memahami bahwa kebebasan yang melampaui batas justru menggerus legitimasi konstitusional,”ujar Wilson, alumni PPRA-48 LEMHANNAS RI, kepada Sukabumiviral.com, Selasa (2/9/2025).
Sejalan dengan itu, pakar hukum sosiologi, Drs. Yulius Fanumbi, S.H.,M.H,. Menekankan pentingnya penguatan literasi digital, edukasi hukum, serta kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil. Menurutnya, kesadaran publik akan batas privat dan ruang publik harus terus ditingkatkan.
“Berbagi informasi secara berlebihan membawa implikasi serius, baik bagi individu maupun masyarakat luas. Ketidakpahaman atas batasan tersebut seringkali memicu disinformasi, distorsi fakta, dan kerugian sosial,”_ jelas Yulius.
Berbeda dengan masyarakat umum, jurnalis memiliki kedudukan strategis dalam menjaga legitimasi demokrasi. Kebebasan pers, yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, memberikan hak istimewa bagi wartawan untuk melaksanakan tugasnya secara independen, melakukan investigasi, dan memberitakan fakta relevan tanpa tekanan pihak mana pun. Meski demikian, mereka tetap terikat oleh kode etik jurnalistik sebagai bentuk tanggung jawab moral dan profesional.
Dengan demikian, kebebasan berekspresi harus dipahami bukan sebagai hak absolut, melainkan sebagai instrumen demokrasi yang memiliki implikasi sosial, politik, dan hukum. Bukan untuk dirubah menjadi retorika absurd yang justru merusak harmoni kehidupan.
Memahami batasan hukum menjadi kunci agar kebebasan berekspresi tetap menjadi alat demokrasi, bukan senjata yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. (Red/Fadil)
<< Post Views: 3.945
Social Header