Breaking News

Bayangan Digital di Balik Kemendikbudristek: Kejagung Terima Pengembalian Rp10 Miliar Kasus Chromebook

SUKABUMIVIRAL.COM  -  Gelombang penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan Laptop Chromebook di Kementrian  Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek)  terus menimbulkan gema panjang. Di tengah pusaran perkara yang menyeret mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengkonfirmasi adanya pengembalian uang hampir Rp10 miliar namun bukan berasal dari sang tersangka utama.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, mengungkap bahwa dana tersebut diserahkan secara sukarela oleh sejumlah pihak yang terlibat dalam proyek pengadaan.

"Ada pihak-pihak yang kooperatif, termasuk salah satu tersangka, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),” ujarnya, dikutip pada Sabtu (18/10).

Uang yang dikembalikan itu terdiri dari pecahan rupiah dan dolar AS, sebagian diantaranya juga berasal dari vendor penyedia perangkat. Namun Kejagung menahan diri untuk tidak membuka identitas pihak-pihak tersebut.

Penyidik tidak hanya berhenti pada nama tersangka, tetapi menelusuri seluruh jaringan aliran dana untuk memastikan pemulihan kerugian negara,” tambah Anang.

Jejak Awal: Dari Google ke Meja Kementerian

Menurut hasil penyidikan yang disampaikan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo, titik awal kasus ini bermula dari serangkaian pertemuan antara Nadiem Makarim dan pihak Google Indonesia pada tahun 2020. Pertemuan itu membahas program _Google for Education_ dengan perangkat *Chromebook dan sistem Chrome OS* sebagai produk andalan.

Dari sinilah lahir gagasan menjadikan Chromebook sebagai proyek nasional pengadaan alat TIK di Kemendikbudristek. Namun, menurut penyidik, keputusan itu dibuat sebelum ada dasar resmi atau mekanisme lelang yang sah.

Rapat-rapat tertutup membahas pengadaan sudah dilakukan, padahal proyek belum dimulai secara legal. Surat Google yang dulu tak direspons oleh Menteri Pendidikan sebelumnya, Muhadjir Effendy, justru dijawab langsung oleh Nadiem,”  ungkap Nurcahyo.

Muhadjir disebut memilih diam lantaran uji coba Chromebook pada 2019 terbukti gagal perangkat itu tidak kompatibel dengan infrastruktur pendidikan di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Namun, arah kebijakan berubah setelah pergantian menteri, memunculkan dugaan adanya intervensi komersial dan ketergesaan politis dalam menentukan vendor teknologi pendidikan.

Strategi Kejagung: Antara Rehabilitasi dan Rekonstruksi Integritas

Kejaksaan Agung menegaskan bahwa penyidikan kasus ini tidak semata bertujuan menghukum pelaku, tetapi juga merekonstruksi kembali integritas tata kelola proyek digital di pemerintahan.

Langkah kami bukan hanya represif, melainkan juga restoratif. Fokusnya pada pemulihan aset dan pengembalian kerugian negara,”  tutur Anang.

Pendekatan ini mencerminkan paradigma baru penegakan hukum: bukan sekadar menghukum individu, melainkan membedah sistem yang membuka celah penyimpangan. Dalam konteks ini, kasus Chromebook menjadi cermin kompleksitas antara ambisi digitalisasi dan akuntabilitas publik.

Implikasi: Krisis Kepercayaan di Balik Transformasi Digital

Kasus Chromebook menandai babak baru dalam kritik terhadap tata kelola digital di sektor pendidikan. Program yang sejatinya dirancang untuk mendorong literasi teknologi justru berubah menjadi simbol kontradiksi antara inovasi dan integritas. 

Dengan nilai proyek yang mencapai triliunan rupiah dan melibatkan perusahaan global, penyidikan ini membuka ruang refleksi tentang bagaimana kebijakan teknologi bisa disusupi kepentingan ekonomi dan politik.

Kini publik menanti, apakah Kejaksaan mampu menuntaskan perkara ini secara tuntas bukan hanya dengan menghitung uang yang kembali, tetapi juga memulihkan kepercayaan publik terhadap wajah pendidikan dan pemerintahan digital Indonesia. (Fadil)
© Copyright 2024 - SUKABUMI VIRAL | MENGHUBUNGKAN ANDA DENGAN INFORMASI MELALUI SUDUT BERITA