SUKABUMIVIRAL.COM - Ditengah gempita retorika pembangunan nasional, terdapat realitas absurd: nyawa anak bangsa yang melayang hanya karena layanan kesehatan gagal hadir pada waktunya.
Ironisnya, ketika slogan "Kesehatan adalah Hak setiap warga negara" digaungkan, implementasi justru menghadirkan wajah kontradiktif, terkuak melalui statistik ketidakpastian, dan menyisakan jejak luka yang tak kasatmata.
Tragedi terbaru di Kabupaten Sukabumi menjadi ilustrasi pahit, dimana sistem kesehatan masih bergelut dengan keterbatasan struktural dan birokrasi yang lamban. Seorang balita harus meregang nyawa karena tidak mendapatkan akses medis yang memadai dengan segera. Sungguh, ini bukan sekadar insiden medis, melainkan potret buram tentang implikasi kelalaian pemerintah dalam menjamin hak dasar warganya.
Lebih dari sekadar angka statistik, setiap kematian anak adalah kehilangan generasi. Ironis bila di atas kertas “Anggaran Kesehatan terus meningkat”,_ namun di lini terdepan, desa, puskesmas, rumah sakit daerah, fasilitas dan tenaga medis tetap langka.
Drs. Yulius Fanumbi, S.H, M.H, seorang pakar hukum sosiologi menegaskan bahwa kasus seperti ini adalah alarm keras bagi pemerintah.
“Kita tidak boleh lagi memandang nyawa anak sebagai sekadar data epidemiologi. Terlambatnya layanan kesehatan adalah tragedi. Pemerintah harus memperbaiki sistem rujukan, distribusi tenaga medis, dan ketersediaan fasilitas agar tidak ada lagi korban dari lemahnya implementasi kebijakan kesehatan,”_ ujar Yulius, pada Jumat (22/8/2025).
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka pertanyaan besar akan menggantung di udara: Apakah negara benar-benar hadir untuk rakyatnya, atau sekadar hadir dalam teks pidato dan baliho pembangunan?
Demistifikasi Retorika
Absurd jika sebuah bangsa yang mengklaim “Maju dan Modern" justru tersandung pada pondasi paling mendasar. Semua angka ini adalah cerminan kegagalan sistemik yang dalam, bukan sekadar statistik, melainkan tuntutan keadilan yang belum terjawab.
Potret buram ini semestinya menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah maupun pusat. Layanan kesehatan bukan sekadar instrumen administratif, melainkan pilar kemanusiaan. Setiap keterlambatan penanganan medis adalah taruhan nyawa. Setiap fasilitas yang tak memadai adalah pengkhianatan terhadap amanah konstitusi.
Nyawa anak bangsa terlalu berharga untuk diabaikan. Maka, sudah saatnya retorika digantikan oleh aksi nyata: memperkuat layanan primer, menghadirkan fasilitas yang layak, menambah tenaga medis, serta memastikan bahwa akses kesehatan bukan lagi hak istimewa, melainkan keniscayaan bagi seluruh rakyat.
Epilog Resonansi Mendalam
Sebuah bangsa tidak dapat dikatakan adil dan bertanggung jawab jika anak-anaknya direnggut nyawa hanya karena sistem yang gagal. Statistik ini bukan sekadar data, melainkan seruan kuat, menuntut perbaikan sistemik yang mendesak. Jika kita terus membiarkan disparitas ini berlanjut, maka nurani kita perlu disadarkan oleh keberanian melakukan reformasi mendasar di bidang kesehatan. (Red/ Fadil)
<< Post Views: 2.753
Social Header