Gambar Foto: (Ist) |
Seorang sumber internal pemerintah berinisial AR (47) yang meminta identitasnya dilindungi, mengungkap adanya praktik pemotongan dana yang seharusnya dialokasikan untuk kader Pos KB dan Tim Pendamping Keluarga (TPK). Ia menyebut Kepala Dinas DPPKB, Uus Firdaus , diduga menjadi arsitek di balik modus tersebut.
“Setelah dana dicairkan dari dinas ke UPTD, utusan dari kepala dinas datang dan meminta sebagian dana tersebut dengan alasan itu adalah jatah Kadis. Praktik ini sudah berlangsung sejak 2023 hingga berlanjut di 2024,”_ ungkap AR.
Namun, dugaan kuat justru mengarah pada Kepala DPPKB 2023 berinisial AS, yang kini menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sukabumi.
Manipulasi SPJ dan Legitimasi yang Dipertanyakan
Kecurigaan semakin menguat ketika SD (42), seorang pegawai di DPPKB, mengaku bahwa pihaknya dipaksa membuat ulang Surat Pertanggungjawaban (SPJ) pada Februari 2025, tepat saat Kejaksaan Negeri Sukabumi melakukan penyelidikan.
“SPJ lama justru dibuang. Padahal itu dokumen sah bukti pertanggungjawaban. Kami disuruh membuat ulang, padahal kegiatan tahun 2023 di masa pejabat AS. Akibatnya, banyak kwitansi rekayasa yang ditandatangani penyuluh, bukan kader penerima,” ujar SD dengan nada getir.
Refleksi Akademisi: Krisis Tata Kelola dan Absurdnya Retorika Birokrasi
Tokoh Nasional yang juga Alumni PPRA-48 LEMHANNAS RI, Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A., menilai dugaan praktik ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan cermin krisis tata kelola.
“Ketika dokumen pertanggungjawaban yang seharusnya menjadi instrumen legitimasi justru direkayasa, maka bukan hanya aspek hukum yang dilanggar, tetapi juga etika birokrasi. Ini mengindikasikan adanya implikasi serius: hilangnya kepercayaan publik terhadap negara,”_ tegasnya.
Sementara pakar Hukum Sosiologi Drs. Yulius Fanumbi, S.H., M.H., menyoroti fenomena retorika absurd yang sering dipakai pejabat untuk menutupi skema penyalahgunaan anggaran.
“Kebijakan yang pada tataran retorika diproyeksikan untuk kesejahteraan masyarakat, pada tataran implementasi justru menjadi instrumen kapitalisasi politik birokrasi. Absurd, karena di satu sisi pemerintah berkoar tentang pelayanan publik, namun di sisi lain membajak anggaran rakyat,” ujarnya.
Data mencatat, pada tahun 2023 dana Biaya Operasional (BOP) yang dikelola DPPKB mencapai Rp13,239 miliar, sedangkan tahun 2024 melonjak menjadi Rp24,312 miliar. Dana jumbo ini sejatinya dialokasikan untuk mendukung berbagai program keluarga seperti Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), Bina Keluarga Lansia (BKL), Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS), Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK-R), serta Program Pemberdayaan Ekonomi Keluarga (UPPKS).
Praktik absurd ini tak hanya mencederai legitimasi birokrasi, tetapi juga memperlihatkan bagaimana retorika pertanggungjawaban publik diubah menjadi simulasi administratif yang penuh manipulasi.
Implikasi Hukum dan Bayangan Oknum Markus
Yang lebih mengkhawatirkan, isu yang beredar menyebut penanganan kasus ini di Kejaksaan Negeri Sukabumi mandek akibat adanya peran oknum Markus, yang diduga menjadi mediator “pengaman kasus”. Oknum ini disebut-sebut memiliki jaringan kuat dengan petinggi kejaksaan yang pernah bertugas di tingkat pusat, lalu melanjutkan pengaruhnya di Jawa Barat.
Jika dugaan tersebut benar, implikasinya sangat serius: bukan sekadar korupsi birokrasi, melainkan potret buram “simulasi keadilan” yang dikomodifikasi demi kepentingan segelintir elite.
Kasus dugaan penyalahgunaan APBD di DPPKB Sukabumi menegaskan satu hal: rakyat kerap menjadi pihak paling dirugikan dari praktik elitis yang sarat manipulasi. Pertanyaannya kini, apakah penegak hukum berani menembus lingkaran absurd kekuasaan ini, atau justru memilih bersembunyi di balik retorika prosedural yang kehilangan legitimasi moralnya.
(Fadil/Us)
<< Post Views: 3.738
Social Header