Breaking News

Harapan Gizi, Realita Krisis: Wajah Buram MBG di Cianjur

SUKABUMIVIRAL.COM I Cianjur 19/09/2025 - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Cianjur sejatinya membawa harapan besar bagi orang tua dan peserta didik. Tujuannya mulia: menghadirkan makanan sehat dan bergizi untuk anak-anak sekolah, sekaligus meringankan beban keluarga. Namun, dalam praktiknya, berbagai persoalan serius muncul dan menimbulkan kekecewaan di masyarakat.

Sejak awal, MBG digadang-gadang akan menjadi program unggulan pemerintah pusat. Akan tetapi, kenyataan di lapangan dan di daerah menunjukkan bahwa implementasinya masih jauh dari sempurna.

Permasalahan pertama adalah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang belum berjalan baik. Sejumlah dapur masih membuang limbah sembarangan tanpa sistem pengolahan memadai, sehingga menimbulkan potensi pencemaran lingkungan. Padahal, program dengan nama besar seharusnya tidak melahirkan masalah baru.

Kedua, praktik jual beli titik MBG semakin memperkeruh suasana. Dengan alasan kuota dapur sudah terpenuhi, titik MBG malah diperlakukan seperti komoditas dagangan. Dari 270 dapur yang sudah terbangun, hanya sekitar 100 yang benar-benar berjalan, sementara sisanya bermasalah secara operasional. Kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan ketiadaan tata kelola yang transparan.

Tak kalah penting, ada persoalan Dominasi yayasan dalam pengelolaan program. Yayasan terlalu dominan mengambil keputusan, sementara SPPI (Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia) yang ditunjuk sebagai kepala satuan di tiap dapur justru tidak dilibatkan secara penuh. Padahal, SPPI memiliki peran penting untuk memastikan dapur berjalan sesuai juknis dan kebutuhan teknis di lapangan. Ketika SPPI dipinggirkan, jalannya program jadi timpang, banyak keputusan sepihak, dan tidak berpihak pada kualitas.

Selain itu, Standarisasi bahan makanan dan menu masih jauh dari harapan. Banyak menu yang disajikan tidak sesuai dengan petunjuk teknis, bahkan dianggap asal-asalan. Hal ini memicu keluhan dari wali murid yang merasa MBG belum benar-benar menunjang kebutuhan anak-anak mereka. Kritik semakin kuat karena kualitas makanan tidak seragam antar dapur, ada yang layak, tapi banyak juga yang mengecewakan.

Permasalahan berikutnya adalah evaluasi dapur yang lemah. Dapur-dapur bermasalah tidak pernah dievaluasi secara serius. Mekanisme evaluasi cenderung lamban, tidak transparan, bahkan seolah sengaja dibiarkan. Tanpa evaluasi menyeluruh, sulit bagi pemerintah daerah mengetahui titik lemah dan menemukan solusi tepat.

Yang tak kalah memprihatinkan adalah kondisi relawan MBG. Mereka yang menjadi ujung tombak justru sering diabaikan. Gaji relawan tidak seragam, bahkan ada yang belum menerima honor sama sekali hingga kini. Selain itu, proses perekrutan relawan juga kerap dilakukan atas dasar hubungan keluarga, bukan kemampuan. Pola ini menimbulkan kecemburuan sosial, kinerja dapur menurun, dan profesionalitas pun tergerus.

Menanggapi situasi ini, Ketua Pemuda Peduli Integritas, M Abdul Rohim Rijki, dalam wawancara menyampaikan kritik tajam:

Program MBG ini lahir dari ide baik, tapi dalam pelaksanaannya banyak diselewengkan. Kita lihat ada jual beli titik, dominasi yayasan, relawan yang haknya diabaikan, sampai SPPI yang seharusnya menjadi kepala satuan tiap dapur tidak diberi ruang. Kalau sistemnya seperti ini, jangan harap program ini bisa berjalan sesuai tujuan.” ujarnya. 

Ia menegaskan bahwa akar masalah MBG ada pada lemahnya pengawasan dan tidak jelasnya pembagian peran.

SPPI itu dibuat untuk memastikan dapur sesuai juknis. Tapi kalau kewenangannya hanya di atas kertas, sementara keputusan diambil sepihak oleh yayasan, jelas akan menimbulkan masalah. Pemerintah pusat dan daerah harus turun tangan, jangan membiarkan situasi ini berlarut. Kalau dibiarkan, MBG bukan lagi soal gizi anak, tapi jadi proyek kepentingan,” tegasnya.

Rohim juga menyoroti pentingnya memperhatikan nasib relawan.

Relawan adalah tulang punggung MBG. Kalau gaji mereka tidak jelas, ada yang belum dibayar, sementara kerja mereka setiap hari berat, itu bentuk ketidakadilan. Perekrutan pun harus transparan, bukan berdasarkan keluarga. Kalau pola nepotisme dibiarkan, kinerja dapur akan terus menurun,” ungkapnya.

Di akhir wawancara, Rohim menekankan bahwa keluhan wali murid adalah alarm penting.

Kalau orang tua murid bilang program ini tidak menunjang dan bahkan banyak yang keracunan, berarti ada kegagalan yang nyata. Pemerintah harus berani mengevaluasi, membuka transparansi, dan mengembalikan program ini ke rencana awal. Tanpa itu, MBG hanya akan jadi janji manis di atas kertas.” pungkasnya. 

Dengan sorotan tajam tersebut, masyarakat kini menunggu langkah konkret dari pemerintah daerah. Evaluasi menyeluruh, transparansi dalam pengelolaan, serta keberanian menindak praktik jual beli titik menjadi kunci agar program MBG kembali ke tujuan awal: menghadirkan makanan bergizi dan manfaat nyata bagi anak-anak sekolah di Cianjur.(Rie'an)

<< Post Views: 3.285
© Copyright 2024 - SUKABUMI VIRAL | MENGHUBUNGKAN ANDA DENGAN INFORMASI MELALUI SUDUT BERITA