Breaking News

Eksistensi Gedung Islamic Center Cicurug: Simbol Pembangunan dan Rutinitas Korupsi Para Pejabat

Dari periode ke periode, dari tingkat pusat hingga daerah, agenda pembangunan seolah tidak pernah absen dari panggung politik, menjadi rutinitas para pejabat dalam menjalankan mandat kekuasaan. Foto : Fadil
SUKABUMIVIRAL.COM - Fenomena pembangunan di negeri ini kerap ditandai dengan lahirnya proyek-proyek megah yang di klaim sebagai simbol kerja nyata pejabat. Jalan diperbaiki, gedung direnovasi, hingga monumen didirikan. Namun, eksistensinya seolah tak pernah tuntas, sekadar menjadi siklus pembangunan yang berulang.

Pertanyaan klasik pun tetap relevan: Sejauh mana pembangunan itu benar-benar berimplikasi pada kesejahteraan rakyat? Apakah lahir dari kebutuhan masyarakat, atau sekadar rutinitas politik sebagai jejak kuasa?

Mega proyek Gedung Islamic Center Cicurug (GICC) di Kabupaten Sukabumi, yang dibangun dengan anggaran miliaran rupiah. Kini, terbengkalai dan berdiri sebagai bangunan kosong tanpa pemanfaatan. Kondisi ini menimbulkan dugaan kuat bahwa pembangunan tersebut telah menjadi objek untuk rutinitas korupsi.

Mangkraknya GICC menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam menerapkan prinsip good governance dan transparansi anggaran. Padahal, regulasi telah mengamanatkan bahwa setiap aset publik wajib dikelola dengan prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan keberlanjutan.

Menurut Drs. Yulius Fanumbi, S.H., M.H., pakar hukum sosiologi, banyak proyek yang digembar-gemborkan sebagai “program strategis” justru hanya menyentuh permukaan.

Dalam kacamata sosiologis, rutinitas proyek pejabat sering kali menjadi cermin relasi kuasa. Ketika rakyat hanya diposisikan sebagai penerima manfaat pasif, bukan sebagai subjek aktif, maka sejarah menulis: penguasa membangun, rakyat menunggu,”  ujarnya.

Sejarah mencatat bahwa pembangunan fisik kerap dijadikan legitimasi kekuasaan. Gedung megah atau monumen tidak hanya berfungsi sebagai fasilitas publik, tetapi juga simbol kuasa yang diwariskan dari rezim ke rezim. Namun, di era keterbukaan informasi publik, masyarakat semakin kritis. Seremoni peresmian dan pemotongan pita tidak lagi cukup untuk meyakinkan publik.

Gedung GICC adalah simbol nyata bagaimana aset publik bisa berubah menjadi monumen kosong yang tidak bermanfaat. Aset daerah harus kembali kepada kepentingan rakyat, bukan menjadi objek korupsi dalam rutinitas proyek pejabat,”  tegas Yulius.

Kini masyarakat menuntut agar setiap proyek pembangunan tidak hanya berhenti pada seremoni peresmian. Anggaran negara yang bersumber dari keringat rakyat harus kembali dalam bentuk manfaat nyata.

Sejarah akan selalu mencatat: siapa yang hanya mengulang rutinitas, dan siapa yang sungguh-sungguh mengukir perubahan. Rakyat membutuhkan pemimpin yang membangun bukan sekadar untuk dikenang, melainkan untuk mengangkat harkat dan martabat kehidupan bangsanya. (Fadil/ Us)

<< Post Views: 3.485
© Copyright 2024 - SUKABUMI VIRAL | MENGHUBUNGKAN ANDA DENGAN INFORMASI MELALUI SUDUT BERITA