SUKABUMIVIRAL.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang sebagai salah satu proyek sosial paling ambisius dalam sejarah pemerintahan Indonesia modern. Program ini bukan sekadar bagi-bagi makanan, melainkan strategi jangka panjang pemerintah untuk membangun kualitas sumber daya manusia sejak usia dini, mulai dari balita hingga siswa SMA.
Namun di balik narasi ideal “investasi gizi untuk masa depan”, terselip pertanyaan besar: seberapa siap negara ini mengelola program dengan skala dan anggaran sebesar itu?
Pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan bahwa tujuan utama MBG adalah memperbaiki asupan gizi dan kesehatan anak sekolah, meningkatkan motivasi belajar, serta menekan angka putus sekolah. Program ini juga menyasar ibu hamil dan menyusui, serta anak balita yang rentan kekurangan gizi.
“Ini bukan sekadar proyek makan gratis, tetapi strategi intervensi gizi yang sistematis,” ujar seorang pejabat BGN yang enggan disebut namanya.
Menu MBG disusun berdasarkan prinsip gizi seimbang, mencakup karbohidrat, protein hewani dan nabati, sayuran segar, buah lokal, serta sumber lemak sehat. Pemerintah juga berkomitmen untuk memprioritaskan bahan pangan lokal agar program ini sekaligus mendorong ekonomi desa.
Pelaksanaan MBG akan dilakukan secara bertahap di seluruh jenjang pendidikan dan wilayah kabupaten/kota, dengan fokus awal pada daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
Di atas kertas, konsep ini tampak ideal. Namun, di lapangan, tantangannya tidak sederhana.
Ketersediaan dapur umum menjadi persoalan pertama. Banyak sekolah di daerah terpencil bahkan belum memiliki fasilitas sanitasi yang layak, apalagi dapur berstandar gizi. Di sisi lain, keterbatasan tenaga gizi dan logistik distribusi bahan pangan menambah beban pelaksanaan di daerah.
“Program ini sangat bagus, tapi tanpa infrastruktur pendukung, bisa-bisa hanya berhenti di laporan,” ujar *M. Rizwan* seorang pengamat kebijakan publik di Sukabumi.
Seiring besarnya skala program, anggaran MBG diperkirakan menembus angka triliunan rupiah setiap tahun. Besarnya dana ini memang sebanding dengan ambisi program, namun juga membuka ruang risiko baru, yaitu potensi penyimpangan dalam pengadaan bahan makanan dan distribusi.
M. Rizwan menilai, pengawasan harus diperketat sejak tahap perencanaan.“Kita bicara tentang rantai panjang pengadaan, mulai dari pemasok bahan, transportasi, hingga penyajian di sekolah. Di situ letak celah korupsi yang paling rentan,” katanya.
Meski banyak tantangan, MBG tetap mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan. Banyak pihak menilai, program ini merupakan momentum penting untuk menyiapkan generasi produktif yang sehat dan berdaya saing global.
Namun, keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada besarnya anggaran, tetapi juga pada akurasi pelaksanaan di lapangan, ketepatan sasaran, dan transparansi pengelolaan.
“Program besar dengan anggaran besar harus diimbangi oleh akuntabilitas besar,” ujar M. Rizwan. “Jika tidak, ia akan menjadi simbol baru dari ambisi tanpa arah.”
Sukabumiviral.com mencatat, sejarah kebijakan publik di Indonesia sering kali berulang: ide baik kerap tersandung di eksekusi. Program Makan Bergizi Gratis kini berada di persimpangan yang sama, antara menjadi warisan kebijakan monumental, atau sekadar catatan optimisme yang gagal diwujudkan di meja makan anak-anak negeri.
Redaksi Sukabumiviral.com
<<Post Views: 6.846

Social Header