Breaking News

Ekspresi Syukur Dalam Dimensi Spiritual: Manifestasi Tertinggi Ketaqwaan Manusia Yang Melampaui Kata-Kata

SUKABUMIVIRAL.COM - Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan penuh kompetisi, syukur sering kali tereduksi menjadi ucapan singkat _"sekadar formalitas yang terlontar tanpa perenungan"_. Padahal, dalam tradisi spiritual Islam, syukur bukan perkara tutur kata, melainkan kedalaman jiwa. Ia adalah ruang hening tempat manusia kembali mengakui keterbatasannya, lalu menundukkan hati di hadapan Tuhan yang telah menganugerahkan segala nikmat.

Tasyakur sejatinya adalah seni merayakan karunia ilahi. Ia bisa hadir melalui doa bersama, makan sederhana, atau sedekah yang dibagikan kepada sesama. Wujudnya mungkin berbeda-beda, dari bingkisan makanan hingga perlengkapan ibadah, tetapi hakikatnya tetap sama: berbagi kebahagiaan sebagai tanda bahwa nikmat Tuhan harus terus mengalir, bukan berhenti di tangan penerimanya.

Namun ada hal yang lebih penting dari sekadar bentuknya: ketulusan. Banyak orang terjebak pada simbol-simbol lahiriah syukur, tetapi lupa menyelami ruhnya. Syukur bukan panggung untuk memamerkan kemurahan hati. Ia adalah percakapan batin antara manusia dan Tuhannya, pernyataan sederhana namun mendalam bahwa setiap keberhasilan mustahil berdiri sendiri tanpa campur tangan kekuatan yang lebih tinggi.

Sayangnya, di zaman yang mengagungkan pencapaian pribadi, kesadaran ini sering memudar. Banyak yang mengira bahwa kerja keras adalah satu-satunya motor penggerak kehidupan. Jalan pikiran semacam ini melahirkan keangkuhan, menjauhkan manusia dari kesadaran spiritual bahwa Tuhanlah yang memutar roda kehidupan. Padahal, tanpa restu-Nya, usaha sehebat apa pun bisa runtuh seketika.

Syukur yang autentik justru lahir dari kerendahan hati. Ia menuntut kecerdasan spiritual dan kemampuan membaca tanda-tanda ilahi yang bersemayam dalam peristiwa sehari-hari. Dalam perspektif ini, tasyakur bukan sekadar tradisi sosial, tetapi latihan batin untuk merawat hubungan manusia dengan Tuhan. Ia menjaga agar manusia tetap rendah hati, tetap sadar bahwa hidup ini tidak pernah sepenuhnya dalam kontrol kita.

Falsafah Jawa _“manunggaling kawula lan Gusti”_ mengajarkan bahwa Tuhan tidak pernah jauh. Ia bersemayam dalam kedalaman jiwa manusia, baik yang masih menjalani hidup maupun yang telah kembali kepada-Nya. Pemahaman ini menegaskan bahwa spiritualitas tidak selalu harus bersifat eksternal; terkadang, justru yang paling murni adalah yang ditemukan dalam perjalanan ke dalam diri.

Spiritualitas Timur sejak lama memahami hal ini. Sementara Barat mengejar manifestasi ke luar melalui ekspresi, karya, dan rasionalitas bangsa Timur mengakar pada pencarian keheningan batin. Namun kedua pendekatan itu sejatinya bukan untuk dipertentangkan. Keduanya dapat berpadu untuk membentuk kedewasaan spiritual yang lebih utuh: memahami dunia luar tanpa kehilangan kedalaman dunia dalam.

Pada akhirnya, tasyakur adalah deklarasi batin bahwa Tuhan adalah Penguasa Mutlak atas seluruh dinamika kehidupan. Dengan bersyukur, manusia mengakui bahwa apa pun yang terjadi baik keberhasilan maupun ujian berjalan dalam skenario besar yang digerakkan oleh kehendak-Nya.

Di titik inilah syukur menjadi lebih dari sekadar tradisi. Ia menjelma menjadi kearifan. Menjadi cermin. Menjadi jalan pulang. Dan dalam jalan sunyi itulah, ketaqwaan manusia menemukan bentuk tertingginya melampaui kata, melampaui ritual, hingga menyatu dalam kesadaran terdalam bahwa hidup ini sepenuhnya berada dalam genggaman-Nya.
Oleh: Jacob Ereste
Editor : Fadilah Aldila

<<Post Views: 1.367
© Copyright 2024 - SUKABUMI VIRAL | MENGHUBUNGKAN ANDA DENGAN INFORMASI MELALUI SUDUT BERITA