SUKABUMIVIRAL.COM || JAKARTA - Kontroversi proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) kembali memanas. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk membayar utang PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Namun pernyataan itu langsung berseberangan dengan sikap Presiden Prabowo Subianto, yang menyebut siap mengambil alih beban utang, demi menjaga stabilitas proyek strategis nasional tersebut.
Perbedaan pandangan dua pucuk pimpinan negara ini kemudian memunculkan dugaan adanya masalah besar di balik megaproyek bernama Whoosh tersebut. Sorotan pun semakin tajam, apalagi setelah kritik keras kembali datang dari mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Laksamana Sukardi menyebut pembengkakan biaya proyek yang mencapai US$ 1,3 miliar—dari total awal US$ 6 miliar menjadi US$ 7,3 miliar—sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dalam standar internasional.
“Wajar itu paling 5 persen. Ini sampai 22 persen. Artinya ada sesuatu yang tidak beres sejak awal,”_ tegas Sukardi.
Ia juga menyoroti dana proyek yang sempat mengendap di bank karena pengerjaan yang molor, membuka peluang keuntungan tidak wajar bagi pihak tertentu.
Data yang dipaparkan Sukardi menunjukkan: 45% anggaran diserap pekerjaan sipil, termasuk 13 terowongan (16,3 km) dan viaduk sepanjang 87,6 km. Pembebasan lahan mencapai US$ 584 juta (Rp 9,7 triliun). Biaya bunga selama konstruksi meroket menjadi US$ 876 juta.
Sukardi menduga pembebasan lahan menjadi titik rawan, terutama di kawasan Halim Perdana Kusuma, yang sejak awal disebut-sebut sarat kepentingan. Sukardi mempertanyakan kenapa sampai hari ini tidak ada audit komprehensif yang benar-benar dibuka ke publik.
“Idealnya audit sudah keluar. Tapi sampai sekarang tidak ada ujungnya. Jangan-jangan sudah ‘masuk angin’,”_ ucapnya.
KCJB sejak awal dikerjakan melalui skema Business to Business (B2B). Pemerintah tidak ikut menanggung pinjaman. Namun keputusan memilih China—yang menawarkan skema komersial—dianggap sejumlah pihak sebagai keputusan yang sarat kepentingan.
BUMN Indonesia menguasai 60% saham, China 40%. Semestinya seluruh utang menjadi tanggung jawab perusahaan, bukan negara.
Pinjaman baru dari China Development Bank (CDB) membuat total utang KCIC kini mencapai US$ 5,5 miliar. Pada 2023, pemerintah akhirnya menerbitkan surat jaminan negara, membuat proyek ini berubah status menjadi Government to Government (G2G).
Konsekuensinya jelas: Utang yang awalnya tidak ditanggung negara kini berpotensi menjadi beban APBN. Inilah titik yang membuat pernyataan Menkeu dan Presiden terlihat tidak sejalan.
Publik kini mempertanyakan apakah Menkeu tidak sepenuhnya mengetahui risiko jaminan negara yang pernah diterbitkan? Atau ini strategi politik untuk meredam kemarahan publik? Atau justru ada ketidaksinkronan antara pemerintah pusat dan kementerian keuangan?
Jika Presiden benar-benar mengambil alih utang KCJB, maka seluruh proses pengambilan keputusan di masa lalu berpotensi dievaluasi ulang. Ini bisa menyeret sejumlah pejabat dan mantan pejabat terkait.
Proyek Kereta Cepat Whoosh kini menjadi ujian serius bagi pemerintah. Bukan hanya soal utang, tetapi juga terkait dugaan KKN, lemahnya pengawasan, dan keputusan strategis yang tumpang tindih.
Apakah negara akan memilih menyelamatkan proyek, atau menyelamatkan kebenaran?
REPORTER: Fadil
SUMBER: Jacob Erete
<<Post Views: 1.847

Social Header