SUKBUMIVIRAL.COM - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah instrumen utama negara untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik. Proses penyusunannya diatur ketat melalui UUD 1945, Undang-Undang Keuangan Negara, serta berbagai regulasi turunan.
Namun, dalam praktiknya, tata kelola APBN dari pusat hingga daerah masih menyisakan celah besar yang sering dimanfaatkan untuk praktik korupsi.
Proses Penyusunan dan Pelaksanaan APBN
Penyusunan APBN dimulai dari *Rencana Kerja Pemerintah (RKP)* yang menjadi dasar penyusunan Nota Keuangan dan Rancangan APBN (RAPBN). Dokumen tersebut diajukan Presiden kepada DPR untuk dibahas dan disahkan menjadi UU APBN.
Pelaksanaan APBN dikelola oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Anggaran, DJPBN, dan DJP. Dana kemudian ditransfer ke kementerian/lembaga serta pemerintah daerah melalui mekanisme Dana Transfer ke Daerah (DAU, DAK, dan Dana Desa). Pemerintah daerah lantas menyusunnya kembali dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Titik Rawan Korupsi dalam Tata Kelola Anggaran:
Meski telah diatur dengan ketat, praktik korupsi masih sering terjadi dalam berbagai tahap, antara lain Perencanaan dan penganggaran, Mark up program, proyek fiktif, hingga “jual-beli” anggaran dalam pembahasan RAPBN dan RAPBD.
1. Perencanaan dan penganggaran: Praktik Kasus suap terkait dana aspirasi DPR dan Pokok Pikiran (Pokir) anggota DPRD menjadi bukti kerentanan tahap ini.
2. Pengadaan barang/jasa: menurut data KPK, sekitar 70% kasus korupsi yang ditangani berasal dari sektor pengadaan, dengan modus pengaturan tender, gratifikasi, dan penggelembungan harga.
3. Dana transfer dan dana desa: penyalahgunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Desa menempati posisi tertinggi dalam perkara tipikor di daerah.
4. Belanja bantuan sosial dan perjalanan dinas: BPK kerap menemukan penyaluran bansos yang tidak sesuai ketentuan, hingga penggunaan dana perjalanan dinas yang tidak wajar.
5. Pertanggungjawaban: laporan keuangan sering dimanipulasi untuk menutupi kerugian negara. Meski BPK, BPKP, dan inspektorat rutin mengaudit, temuan serupa masih berulang dari tahun ke tahun.
Implikasi dan pengawsan:
Korupsi dalam tata kelola APBN berdampak langsung pada kualitas layanan publik. Dana yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur bocor di tangan oknum, sehingga masyarakat tidak mendapat manfaat penuh dari APBN yang nilainya terus meningkat tiap tahun.
Pemerintah telah mendorong digitalisasi sistem anggaran, transparansi pengadaan, serta penguatan pengawasan. KPK, Kejaksaan Agung, dan BPK juga gencar melakukan penindakan. Namun, sebagaimana ditegaskan Pasal 41 UU Tipikor, peran serta masyarakat tetap menjadi kunci agar tata kelola APBN bersih dari praktik korupsi.
Mekanisme hukum tata kelola APBN sebenarnya sudah jelas. Namun, praktik korupsi masih terjadi di hampir semua tahapan, mulai dari perencanaan, pengadaan, penyaluran, hingga pertanggungjawaban. Kasus-kasus korupsi tidak hanya melibatkan angka besar di pusat, tetapi juga penyimpangan kecil hingga menengah di daerah.
Selama celah ini tidak ditutup dengan transparansi dan integritas, kebocoran APBN akan terus menggerogoti keuangan negara dan merugikan rakyat yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama. (Red/Fadil)
<< Post Views: 5.725

Social Header