SUKABUMIVIRAL.COM - Dari ruang sidang hingga meja perundingan bisnis, dari kantor Pemerintah hingga Korporasi raksasa, hukum kerap terlihat bukan sebagai tembok kokoh keadilan, melainkan pintu yang bisa dibuka-tutup sesuai kepentingan.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah hukum benar pengawal keadilan, atau sekadar formalitas yang dapat dinegosiasikan?
Di atas kertas, hukum adalah pagar kokoh yang melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan. Namun, di lapangan, pagar itu kerap berubah menjadi pintu putar yang bisa atur, bahkan dilewati dengan mudah oleh mereka yang memiliki kuasa atau modal.
Pada dasarnya, hukum telah berfungsi sebagai alat untuk menegakkan aturan dan norma dalam masyarakat. Namun, sejarah mencatat bahwa sejak era feodalisme, hukum kerap digunakan penguasa untuk kepentingan kekuasaan, sementara rakyat jelata tidak memiliki suara dalam pembuatan aturan tersebut.
Kini, di era modern, praktik serupa masih terjadi dalam bentuk berbeda. Jejak kasus-kasus besar di tanah air menunjukkan pola yang absurd. Beberapa perkara korupsi yang menyeret pejabat tinggi, sengketa bisnis bernilai triliunan, hingga pelanggaran prosedur di sektor publik, sering berakhir dengan ruang kompromi yang menguntungkan pihak tertentu. Mengaburkan batas antara keadilan dan kepentingan.
Drs.Yulius Fanumbi, SH, seorang pakar Hukum Sosiologi menilai, praktik ini berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Ketika penerapan hukum bergantung pada posisi tawar atau kekuatan finansial.
"Maka prinsip "equality before the law" hanya tinggal jargon. Situasi ini tidak hanya merugikan pihak yang lemah, tetapi juga melemahkan fondasi negara hukum itu sendiri," ujar Yulius.
Di dunia bisnis, kekuatan finansial sering menjadi kunci untuk menekan atau mempengaruhi penegakan hukum. Pelanggaran lingkungan, misalnya, acap berakhir dengan denda ringan bagi perusahaan besar, sementara pelaku skala kecil bisa mendapat hukuman berlipat. Bahkan dalam kontrak hukum, celah dan ketidakjelasan sering sengaja dimanfaatkan demi keuntungan satu pihak.
Lebih memprihatinkan lagi, praktik ini tak jarang didukung oleh celah-celah regulasi, permainan lobi politik, hingga tekanan dari pihak berkepentingan. Di balik layar, transaksi kekuasaan bisa menjadi penentu arah putusan, sementara kepentingan publik terpinggirkan
Globalisasi merubah keadaan. Perusahaan multinasional bebas berpindah operasi ke negara dengan regulasi longgar, menghindari tanggung jawab sosial dan memanfaatkan biaya tenaga kerja murah. Bagi mereka, hukum adalah variabel yang dapat disesuaikan demi efisiensi dan laba, bukan pagar moral yang mengikat.
Kasus-kasus besar yang mencuat ke publik belakangan ini memperlihatkan bahwa negosiasi dalam penegakan hukum bukan lagi hal yang asing. Semuanya memperlihatkan adanya ruang kompromi yang terkadang mengaburkan batas antara keadilan dan kepentingan.
Akibatnya, publik semakin sinis. Ketika aturan bisa dinegosiasikan, rasa percaya terhadap institusi hukum terkikis. Muncul apatisme, bahkan potensi ketidakstabilan sosial. Lebih jauh, nilai-nilai moral dan keadilan berisiko terpinggirkan, meninggalkan ruang lebar bagi diskriminasi dan marginalisasi.
Publik pun bertanya-tanya: apakah proses hukum benar-benar berjalan sesuai prinsip equality before the law, atau sekadar panggung formal yang naskahnya sudah diatur?
Hukum bukan sekadar deretan pasal - ia adalah cermin nilai dan prinsip mutlak. Dan cermin itu hanya akan memantulkan keadilan jika dibersihkan dari debu kepentingan. (Red/Fadil).
<< Post Views: 2.852
Social Header