SUKABUMIVIRAL.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diharapkan pemerintah sebagai solusi menurunkan stunting dan memperkuat sumber daya manusia, justru memunculkan tanda tanya besar. Dengan estimasi anggaran fantastis Rp 400 triliun dan target 82,9 juta penerima manfaat, program ini bukan hanya terancam gagal secara implementasi, tetapi juga membuka ruang lebar korupsi sistemik akibat lemahnya tata kelola dan pengawasan.
Sejak diluncurkan, program MBG dijalankan tanpa Peraturan Presiden yang mengatur mekanisme, prosedur, dan koordinasi lintas sektor. Pelaksanaannya hanya berlandaskan petunjuk teknis internal, membuat pijakan hukum program ini rapuh dan rawan dimanipulasi.
Penunjukan mitra pelaksana Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dilakukan tanpa mekanisme verifikasi terbuka. Beberapa yayasan pengelola justru memiliki afiliasi dengan aktor politik, institusi militer, dan kelompok kekuasaan tertentu. Fenomena yang paling mencolok adalah keterlibatan polisi lalu lintas dalam distribusi bantuan, dimana fungsi seharusnya berada di ranah keamanan dan ketertiban lalu lintas.
Pengamat Publik dan Alumi PPRA-48 LEMHANAS RI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, M.A menilai, praktik ini merusak prinsip meritokrasi dan netralitas layanan publik. Dengan akses preferensial seperti ini, jalannya distribusi MBG berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan non-program.
"Moratorium MBG menjadi opsi realistis sebelum kebocoran dana dan kerusakan sistem menjadi permanen. Pemerintah didesak segera membuat regulasi," tegasnya.
Menurut Wilson, Pemerintah perlu menyusun dan menetapkan Peraturan Presiden sebagai payung hukum MBG. Memperkuat Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana utama dengan tata kelola yang transparan. Melakukan audit berkala terhadap kinerja dan keuangan program, dengan laporan secara terbuka kepada publik.
"Tanpa koreksi struktural, MBG berpotensi menjadi preseden buruk bagi program sosial berskala nasional. Bukan lagi sekadar “makan bergizi gratis”, melainkan makan siang yang dibayar mahal oleh rakyat untuk kepentingan politik segelintir elite," pungkas Wilson.
Proses Pengadaan Barang: Gelap dan Tertutup
Kajian menemukan bahwa proses Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) dalam MBG jauh dari prinsip transparansi. Pengadaan dilakukan tanpa dokumentasi terbuka, minim sistem pengawasan berbasis data, dan rawan manipulasi harga. Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK menegaskan sektor PBJ masih mendominasi kasus suap dan gratifikasi di Indonesia, dan MBG menunjukkan indikasi kuat mengarah ke pola yang sama.
Kasus penggunaan bahan pangan berkualitas rendah hingga tidak layak konsumsi bahkan sudah terjadi. Salah satu insiden mencoreng reputasi MBG adalah siswa keracunan makan siang yang disalurkan lewat program ini.
Beban Anggaran dan Ancaman Defisit
Ketiadaan prioritas penerima manfaat membuat program ini membebani anggaran negara secara signifikan. Proyeksi menunjukkan, defisit anggaran dapat melebar hingga 3,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) melampaui batas maksimal defisit 3% yang diatur Undang-Undang Keuangan Negara. Kerugian keuangan negara bahkan diperkirakan mencapai Rp 1,8 miliar per tahun di setiap SPPG. (Red/ Fadil)
<< Post Views: 4.527
Social Header