Breaking News

Mengupas Sindikat Data Negara: Diduga 50 Juta Penerima Bansos Fiktif - Rp60 Triliun Raib Setiap Tahun

SUKABUMIVIRAL.COM - Indonesia kembali diguncang oleh temuan mengejutkan: 50,25 juta data penerima bantuan sosial (bansos) fiktif diduga telah menguras keuangan negara hingga Rp60 triliun setiap tahun. Skandal ini bukan sekadar korupsi biasa melainkan manipulasi data negara secara sistematis, melibatkan jejaring kuat lintas instansi, termasuk lembaga resmi penyedia data.

Dugaan praktik kotor ini menyingkap realitas getir: kekuasaan atas data telah berubah menjadi senjata korupsi paling dahsyat, tersembunyi di balik layar kebijakan dan proyek-proyek raksasa bernilai triliunan rupiah.

Rekening Bayangan Negara:

Dokumen investigasi PPATK menyebutkan adanya 2000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara negara yang diduga dijadikan wadah pengendapan dana bansos. Salah satunya tercatat menampung Rp2,1 triliun dana bansos yang tak jelas ke mana arahnya.

Ironisnya, rekening-rekening tersebut justru tercatat atas nama lembaga resmi negara, bukan individu. menciptakan ruang gelap yang sulit dijangkau audit publik. Dana publik mengendap, rakyat tetap lapar.

BPS dan Sumber Data Bermasalah:

Sorotan tajam mengarah pada Badan Pusat Statistik (BPS). Sebagai pemegang otoritas data nasional, setiap angka yang dirilis menjadi acuan bagi kementerian dan pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan.

Namun, bila data yang disajikan fiktif atau dimanipulasi, maka seluruh program negara dari bansos hingga pembangunan berjalan di atas fondasi kebohongan.

Lebih parah lagi, anggaran yang digelontorkan untuk pendataan mencapai puluhan triliun rupiah hanya untuk “menghitung” rakyat. Pertanyaannya: apakah uang rakyat benar-benar dipakai untuk data, atau justru memperkaya sindikat?

Anatomi Korupsi Data:
Fenomena ini menyingkap pola baru dalam praktik korupsi:

(1). Data sebagai komoditas:
Manipulasi data penerima bansos membuka keran distribusi dana fiktif bernilai triliunan rupiah.

(2). Rekening instansi sebagai perisai: Pengendapan dana lewat rekening resmi membuat aliran uang tampak “legal” meski sesungguhnya ilegal.

(3). Mega proyek statistik
Anggaran raksasa untuk pendataan, sensus, hingga verifikasi, justru menjadi ladang basah permainan elite.

Dengan skema ini, korupsi bukan lagi soal amplop atau suap proyek, melainkan penguasaan sistem data negara itu sendiri.

Bahaya Sindikat Data:

Jika praktik ini dibiarkan, konsekuensinya negara akan terus kehilangan triliunan rupiah tiap tahun, rakyat miskin asli terpinggirkan, karena hak mereka disedot oleh nama-nama fiktif. Selain itu, legitimasi kebijakan negara runtuh, sebab berdiri di atas data yang direkayasa.

Artinya, masa depan Indonesia bisa tergadai hanya karena sindikat data fiktif yang menguasai akses informasi dan anggaran.

Tuntutan Publik:

Kasus ini harus menjadi alarm nasional. Publik menuntut audit menyeluruh terhadap seluruh data bansos dan sensus, transparansi rekening instansi pemerintah, dan pertanggungjawaban lembaga penyedia data negara, termasuk BPS, serta penindakan hukum tegas terhadap aktor-aktor di balik sindikat ini.

Korupsi yang merampas bansos bukan hanya merugikan negara, tapi menikam langsung hati rakyat kecil. Skandal ini membuka mata kita bahwa data bukan sekadar angka, melainkan ladang basah yang bisa diperdagangkan oleh elite rakus.

Selama data dikuasai oleh mafia, Indonesia akan tetap berjalan di atas angka-angka kebohongan, sementara rakyat miskin hanya menjadi nama dalam daftar fiktif.

Apakah negara berani melawan mafia data ini, atau justru ikut menjadi bagian darinya.(Red/Fadil)

<< Post Views: 4.368
© Copyright 2024 - SUKABUMI VIRAL | MENGHUBUNGKAN ANDA DENGAN INFORMASI MELALUI SUDUT BERITA